Rambutnya dikuncir ke belakang, ikat kepala hijau membelah dahi. Di bawahnya, wajah legam karena terbakar matahari. Jaket rompi warna gelap menutup kaus hitam bertuliskan “Iron Gear”, dan ponsel dikepit erat di tangan. Ia duduk di kursi kayu bundar, di sudut parkiran beratap seng, dikelilingi deretan sepeda motor.
Pria itu sebut saja Dedes adalah mantan debt collector. Tapi jangan buru-buru membayangkan dia sebagai sosok galak yang main bentak.
“Saya ini menagih pakai kwitansi atau surat perjanjian, bukan pakai otot,” katanya, tersenyum kecil, namun sorot matanya tetap tajam.
Dulu, hampir setiap minggu ia berpindah kota. Cicurug, Jampang, Palabuhanratu, Bandung, sampai ke pelosok Banten, semua pernah ia datangi demi satu hal yakni mengantarkan tagihan.
Bukan untuk perusahaan resmi, melainkan jasa penagihan pribadi bersama kawannya, Welly teman lama yang dulu yang sama-sama kerja di perusahaan leasing.
“Awalnya saya cuma bantu teman. Tapi keterusan. Daripada nganggur, ya saya jalani,” kata Dedes.
Nominal utang yang ia kejar tak kecil. Mulai dari Rp30 juta, Rp60 juta, sampai seratus juta lebih. Ia dibayar berdasarkan hasil. “Kalau lunas, saya dapat 10 persen dari nilai tagihan. Jadi ya, harus all out,” ucapnya.
Tapi ia menolak disebut kasar ketika bekerja, ia justru selalu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Ia juga banyak mengutip ayat suci soal dosa-dosa orang yang berutang.
“Saya nggak pernah maki. Nggak pernah ancam. Saya datang, saya bawa kwitansi, kadang surat perjanjian. Saya tanya baik-baik, ‘Bu, Pak, kapan bisa bayar?’ Gitu aja. Tapi karena tampang saya begini, ya orang kadang takut sendiri, pernah juga sampai saya ingatkan kalau utang sesama manusia harus diselesaikan di dunia jangan sampai terbawa mati,” katanya sambil terkekeh.
Ia sadar, penampilan fisiknya sering menimbulkan salah paham. “Saya ini biasa saja sebenarnya. Tapi karena kulit saya hitam, suara berat, kadang baru duduk saja orang udah ngumpet,” ucapnya, tidak tersinggung.
Ia pernah menunggu di depan rumah orang sampai malam. Tak jarang ia izin menginap di teras. Bukan mengintimidasi, kata Dedes, tapi membuktikan bahwa dirinya tak sembarangan lari.
“Saya datang bukan cari ribut. Saya cuma nuntut tanggung jawab. Itu bukan utang saya, tapi kalau nggak ditagih, saya juga nggak makan,” tuturnya.
Salah satu pengalaman yang masih ia ingat adalah ketika ia menagih utang untuk jual beli gabah. Jumlahnya cukup besar, tapi tanpa jaminan. Dedes lalu berinisiatif mengecek SPPT tanah milik si peminjam ke desa. Setelah diskusi panjang, tanah sawah itu akhirnya dijaminkan.
“Itu bukan maksa, ya. Saya minta izin baik-baik. Biar sama-sama enak,” imbuhnya.
Pernah juga ia menarik mobil yang jadi jaminan dari seorang nasabah di Cicurug, setelah berkali-kali janji tak ditepati. “Orangnya diam aja waktu saya datang. Saya kasih tahu, mobilnya saya bawa dulu sampai ada kejelasan. Dia nggak ngelawan, mungkin karena tahu itu memang tanggung jawab dia,” ungkapnya.
Namun tak semua berjalan mulus. Suatu kali, saat menagih ke salah satu daerah di Jampang, ia mendapati warga mulai berkumpul. Situasi tegang, dan ia harus ambil keputusan cepat.
“Daripada ribut, saya pamit pulang. Nggak ada uang yang saya bawa hari itu, tapi paling nggak saya masih bisa pulang utuh,” katanya lirih.
Meski sempat dicap preman, Dedes mengaku selalu menjaga kode etiknya sendiri. Ia tak pernah membawa senjata, tak pernah mendorong kekerasan, dan menghindari tagihan yang menyasar lansia atau orang yang benar-benar miskin.
“Saya lebih suka tagih orang yang mampu tapi bandel. Yang ngaku susah, tapi belanja terus. Itu yang bikin gemes,” tuturnya.
Menurut Dedes, menagih utang bukan cuma soal uang, tapi soal kejujuran dan niat baik. “Kalau orang pinjam dengan niat nggak bayar, itu bukan soal ekonomi lagi. Itu soal moral,” katanya.
Ia tak pernah menyimpan dendam pada siapa pun. Bahkan kadang, ia merasa dirinya hanya menjalankan peran yang tidak banyak orang sanggup jalani.
“Kami ini cuma orang suruhan. Menagih dosa orang lain, tapi ujung-ujungnya kami yang disumpahi. Padahal saya cuma cari makan,” katanya pelan.
Kini Dedes tak lagi aktif menagih. Ia lebih sering di rumah, sesekali ikut kerja serabutan. Tapi kalau ada teman lama yang minta tolong menagih, ia masih suka turun, asal kondisinya aman dan jelas.
“Selama nggak maksa, nggak pakai kekerasan, saya masih mau bantu. Kadang yang lebih seram dari saya itu justru orang-orang yang ngaku saudara, terus datang nagih rame-rame. Saya enggak begitu,” katanya.
Saat ditanya apakah ia bangga pernah jadi penagih utang, Dedes tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap motor-motor yang berjejer di parkiran. “Orang boleh menilai saya apapun. Tapi saya nggak pernah ngambil yang bukan hak saya. Dan saya nggak pernah ninggalin tagihan yang saya bawa. Itu aja,” pungkasnya pelan.