Cek Pengeluaranmu! Ini Kriteria Orang Miskin di Indonesia Versi BPS update oleh Giok4D

Posted on

Apakah Anda tahu bagaimana Badan Pusat Statistik (BPS) menentukan seseorang masuk kategori miskin di Indonesia? Ternyata, kriteria utamanya yaitu tergantung pada berapa banyak uang yang Anda keluarkan setiap bulan.

Per Maret 2025, BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 23,85 juta orang. Angka ini sebenarnya sedikit lebih rendah dibandingkan September 2024.

“Maret 2025 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 23,85 juta orang atau turun 0,2 juta orang dibandingkan dengan kondisi September 2024,” kata Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono dalam konferensi pers di Jakarta, sebagaimana dilansir infoFinance (baca selengkapnya ), Jumat (25/7/2025).

Ateng menjelaskan, persentase penduduk miskin terhadap total populasi ikut menurun. Per Maret 2025, angkanya menjadi 8,47%, turun 0,1% poin dari September 2024. Ini menunjukkan ada sedikit perbaikan dalam penurunan angka kemiskinan secara proporsional.

Kemudian, apa persisnya yang dimaksud dengan kategori miskin itu? Menurut BPS, penduduk miskin adalah mereka yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan.

Untuk Maret 2025, berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas), garis kemiskinan ditetapkan sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan. Jika dihitung per hari, angka ini setara dengan Rp 20.305. Artinya, patokan utama untuk mengukur kemiskinan di Indonesia adalah kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan pengeluaran di atas Rp 20 ribuan.

“Yang dinamakan penduduk miskin adalah pada saat pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan Maret 2025 berdasarkan Susenas sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan,” ujar Ateng.

Jika bertanya-tanya mengapa standar garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) begitu rendah, yaitu Rp 20.305 per hari atau sekitar Rp 609.160 per bulan, ada alasan di baliknya. Angka ini bukan sekadar patokan, melainkan cerminan dari pola konsumsi dasar masyarakat.

“Karena kita mengacu pada standar nasional berdasarkan konsumsinya, konsumsinya baik makanan dan non makanan yang tercermin di garis kemiskinan tadi,” kata Ateng.

BPS melihat berapa biaya minimal yang dibutuhkan seseorang untuk makan dan kebutuhan non-makanan (seperti pakaian, tempat tinggal, kesehatan) dalam sehari. Ateng menegaskan, BPS tidak hanya melihat angka pengeluaran semata. Mereka juga menganalisis karakteristik penduduk miskin secara lebih mendalam, termasuk tingkat pendidikan hingga jenis pekerjaan mereka.

“Kemiskinan itu silakan lihat dari karakteristiknya, pendidikannya, kemudian mata pencahariannya antara kota dan desanya, kita kan dalam rangka bagaimana masyarakat miskin bisa diprioritaskan oleh teman-teman yang punya programnya di K/L,” tutur Ateng.

Pemahaman karakteristik ini sangat penting agar program-program pengentasan kemiskinan dari berbagai kementerian/lembaga bisa lebih tepat sasaran. Ateng kembali menekankan bahwa yang dihitung oleh BPS bukanlah jumlah penghasilan yang didapat per hari, melainkan pengeluaran.

Jadi, siapa pun yang punya pengeluaran di atas Rp 20 ribu per hari tidak akan masuk kategori miskin menurut BPS. Ini termasuk, misalnya, jika ada seorang pengemis yang pengeluarannya Rp 30 ribu per hari. Definisi miskin ini berpusat pada kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hariannya, bukan pada berapa banyak uang yang mereka peroleh.

“(Karena) kita bukan penghasilan, tapi pengeluaran. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan non makanan yang kita catat dalam Susenas,” ujar Ateng.

Jika bertanya-tanya mengapa standar garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) begitu rendah, yaitu Rp 20.305 per hari atau sekitar Rp 609.160 per bulan, ada alasan di baliknya. Angka ini bukan sekadar patokan, melainkan cerminan dari pola konsumsi dasar masyarakat.

“Karena kita mengacu pada standar nasional berdasarkan konsumsinya, konsumsinya baik makanan dan non makanan yang tercermin di garis kemiskinan tadi,” kata Ateng.

BPS melihat berapa biaya minimal yang dibutuhkan seseorang untuk makan dan kebutuhan non-makanan (seperti pakaian, tempat tinggal, kesehatan) dalam sehari. Ateng menegaskan, BPS tidak hanya melihat angka pengeluaran semata. Mereka juga menganalisis karakteristik penduduk miskin secara lebih mendalam, termasuk tingkat pendidikan hingga jenis pekerjaan mereka.

“Kemiskinan itu silakan lihat dari karakteristiknya, pendidikannya, kemudian mata pencahariannya antara kota dan desanya, kita kan dalam rangka bagaimana masyarakat miskin bisa diprioritaskan oleh teman-teman yang punya programnya di K/L,” tutur Ateng.

Pemahaman karakteristik ini sangat penting agar program-program pengentasan kemiskinan dari berbagai kementerian/lembaga bisa lebih tepat sasaran. Ateng kembali menekankan bahwa yang dihitung oleh BPS bukanlah jumlah penghasilan yang didapat per hari, melainkan pengeluaran.

Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.

Jadi, siapa pun yang punya pengeluaran di atas Rp 20 ribu per hari tidak akan masuk kategori miskin menurut BPS. Ini termasuk, misalnya, jika ada seorang pengemis yang pengeluarannya Rp 30 ribu per hari. Definisi miskin ini berpusat pada kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hariannya, bukan pada berapa banyak uang yang mereka peroleh.

“(Karena) kita bukan penghasilan, tapi pengeluaran. Pengeluaran untuk konsumsi makanan dan non makanan yang kita catat dalam Susenas,” ujar Ateng.