Serikat buruh di Jawa Barat tegas menolak Keputusan Gubernur (Kepgub) Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.863-Kesra/2026 tentang penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) 2026. Penolakan ini dipicu karena sejumlah rekomendasi upah yang diajukan pemerintah daerah tidak ditetapkan oleh Pemprov Jabar.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memang telah menetapkan besaran UMSK 2026. Namun, kebijakan tersebut hanya berlaku untuk 12 daerah, di antaranya Kota dan Kabupaten Bekasi, Karawang, Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Cimahi, Bandung Barat, Subang, Indramayu, Kabupaten Cirebon, dan Kota Tasikmalaya.
Padahal, sebelumnya tercatat 19 kabupaten/kota di Jawa Barat telah mengajukan rekomendasi UMSK. Sayangnya, tujuh daerah yakni Kabupaten Sukabumi, Kota Bogor, Cianjur, Purwakarta, Garut, Majalengka, dan Sumedang justru tidak ditetapkan besaran UMSK-nya dalam Kepgub tersebut.
Ketua KSPSI Jawa Barat, Roy Jinto, menyampaikan bahwa buruh sejatinya mengapresiasi langkah Gubernur dalam menetapkan kebijakan upah minimum secara tepat waktu.
“Buruh dan pekerja Jawa Barat menyampaikan apresiasi kepada Gubernur Jawa Barat yang telah menerbitkan SK tentang upah minimum tahun 2026 tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Roy, Sabtu (27/12/2025).
Ia juga menyambut baik keputusan Gubernur yang menetapkan UMK 2026 sesuai dengan rekomendasi resmi para bupati dan wali kota. “Kami sangat menghargai langkah Gubernur Jawa Barat yang telah menetapkan UMK 2026 tidak keluar dari rekomendasi resmi dari para bupati dan wali kota,” katanya.
Namun, Roy menegaskan apresiasi tersebut luntur untuk kebijakan UMSK 2026. Menurutnya, terjadi penghilangan dan pengurangan rekomendasi yang telah disepakati di tingkat daerah dalam proses penetapan UMSK di tingkat provinsi.
“Kami menegaskan bahwa langkah baik Gubernur tersebut tidak berlaku untuk penetapan UMSK 2026. Secara faktual, banyak rekomendasi UMSK hasil perundingan tripartit di kabupaten/kota justru dihilangkan dan dikurangi sejak pembahasan di Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat, sebelum disahkan dalam SK Gubernur,” tegas Roy.
Ia menilai, rekomendasi UMSK dari daerah telah melalui pembahasan sah dan komprehensif dengan mempertimbangkan karakteristik sektor usaha serta risiko kerja.
“Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota telah melakukan pembahasan secara saksama dengan mempertimbangkan PP Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan dan PP Nomor 82 Tahun 2019 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Risiko Kerja,” ujarnya.
Sebab itu, Roy memandang kewenangan Dewan Pengupahan Provinsi semestinya terbatas pada verifikasi administratif, bukan merombak substansi rekomendasi daerah.
“Buruh menilai kewenangan Dewan Pengupahan Provinsi Jawa Barat seharusnya terbatas pada verifikasi administratif, bukan mengubah, mengurangi, atau menghilangkan rekomendasi daerah yang sah secara hukum,” katanya.
Roy memaparkan, penghilangan rekomendasi ini berdampak serius pada pelemahan instrumen perlindungan upah sektoral dan mencederai mekanisme dialog sosial tripartit.
“Penolakan ini bukan semata soal besaran upah, melainkan soal kepatuhan terhadap hukum dan penghormatan terhadap kewenangan daerah. Jika UMK dapat ditetapkan sesuai rekomendasi kabupaten/kota, maka UMSK juga harus diperlakukan dengan prinsip hukum dan keadilan yang sama,” ujarnya.
Atas kondisi ini, serikat buruh mendesak Gubernur Jawa Barat segera merevisi Kepgub UMSK 2026 agar sesuai dengan nilai dan jumlah sektor yang direkomendasikan daerah. Sebagai bentuk keseriusan, Roy memastikan buruh Jabar akan turun ke jalan.
“Untuk memastikan revisi SK UMSK 2026 dan sebagai bentuk keseriusan perjuangan konstitusional, buruh Jawa Barat akan menggelar aksi lanjutan pada 29 sampai 30 Desember 2025,” pungkasnya.
