Upaya meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Sukabumi ditempuh tidak hanya melalui pelatihan guru dan penyediaan sarana.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi mendorong satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum yang berangkat dari kondisi lingkungan masing-masing, terutama di kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu yang diakui UNESCO.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi, Deden Sumpena menyebut, pembelajaran yang kontekstual memberi ruang bagi siswa untuk mengenali daerahnya melalui pengalaman langsung. Menurutnya, hal tersebut membangun kedekatan antara anak dengan ruang hidupnya.
“Kurikulum yang kuat adalah yang relevan dengan tempat anak tumbuh. Sukabumi memiliki pesisir, pegunungan, desa adat, dan kawasan geopark. Keragaman ini seharusnya hadir dalam proses pembelajaran,” ujar Deden dalam keterangan tertulis.
Di wilayah Ciletuh-Palabuhanratu, sekolah-sekolah mulai menggunakan bentang alam sebagai sumber belajar. Pengamatan batuan, sungai, dan kontur tebing menjadi bagian dari kegiatan belajar, yang kemudian diolah kembali oleh siswa dalam bentuk catatan, diskusi, atau presentasi di kelas.
SMPN 1 Cisolok menjadi salah satu sekolah yang menerapkan pendekatan tersebut. Lokasinya berada tidak jauh dari Pantai Karanghawu. Menurut Deden, guru memanfaatkan lingkungan pesisir sebagai bagian dari materi lintas mata pelajaran.
Anak mengamati aktivitas nelayan, kondisi pantai, hingga perubahan alam di sekitar. Informasi yang diperoleh di lapangan lalu digunakan dalam pembahasan ekosistem, ekonomi lokal, hingga kebudayaan masyarakat pesisir.
“Pembelajaran tidak berlangsung dalam satu arah. Siswa terlibat dalam percakapan mengenai hal yang mereka lihat dan alami sendiri. Proses ini membuat pemahaman berkembang dari pengalaman konkret menuju pemaknaan yang lebih luas,” ungkap Deden.
Pendekatan berbasis lingkungan tidak hanya dijalankan di kawasan geopark. Di sekolah-sekolah pesisir, muatan kemaritiman disusun untuk memperkenalkan dinamika hidup masyarakat pantai.
Di wilayah yang berdekatan dengan komunitas kasepuhan, nilai gotong royong, pembagian peran, dan pemeliharaan alam diintegrasikan ke dalam pembiasaan sekolah sehari-hari.
Pendekatan ini, menurut Deden, berjalan beriringan dengan penguatan kapasitas guru melalui kelompok kerja, komunitas belajar, serta praktik Lesson Study. Guru saling berbagi pengalaman, memperbaiki metode, dan menyesuaikan pendekatan dengan kondisi sekolah.
“Guru dilatih memanfaatkan lingkungan terdekat sebagai sumber belajar. Pendekatan ini tidak bergantung pada fasilitas. Lingkungan anak itu sendiri menjadi laboratorium pembelajaran,” kata Deden.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Perubahan ini tidak bersifat instan. Namun tanda-tandanya muncul secara bertahap. Siswa mulai menunjukkan kemampuan untuk menghubungkan pengalaman dengan konsep. Literasi tumbuh melalui proses merumuskan kembali apa yang mereka amati. Sikap menjaga lingkungan tidak lagi dipelajari sebagai slogan, tetapi dijalani dalam kegiatan sehari-hari.
“Kami tidak menunggu segala sarana menjadi sempurna. Pendidikan dapat berjalan dari apa yang sudah tersedia. Identitas pendidikan Sukabumi adalah anak belajar dari tanah tempat ia berpijak,” ujar Deden.
Langkah ini masih memerlukan dukungan berkelanjutan, terutama dari orang tua dan pengelola sekolah. Namun arah pembelajaran yang berpihak pada pengalaman nyata siswa mulai mendapat bentuk yang lebih jelas.
Pembelajaran di Kawasan Geopark
Dampak yang Terlihat
Di wilayah Ciletuh-Palabuhanratu, sekolah-sekolah mulai menggunakan bentang alam sebagai sumber belajar. Pengamatan batuan, sungai, dan kontur tebing menjadi bagian dari kegiatan belajar, yang kemudian diolah kembali oleh siswa dalam bentuk catatan, diskusi, atau presentasi di kelas.
SMPN 1 Cisolok menjadi salah satu sekolah yang menerapkan pendekatan tersebut. Lokasinya berada tidak jauh dari Pantai Karanghawu. Menurut Deden, guru memanfaatkan lingkungan pesisir sebagai bagian dari materi lintas mata pelajaran.
Anak mengamati aktivitas nelayan, kondisi pantai, hingga perubahan alam di sekitar. Informasi yang diperoleh di lapangan lalu digunakan dalam pembahasan ekosistem, ekonomi lokal, hingga kebudayaan masyarakat pesisir.
“Pembelajaran tidak berlangsung dalam satu arah. Siswa terlibat dalam percakapan mengenai hal yang mereka lihat dan alami sendiri. Proses ini membuat pemahaman berkembang dari pengalaman konkret menuju pemaknaan yang lebih luas,” ungkap Deden.
Pendekatan berbasis lingkungan tidak hanya dijalankan di kawasan geopark. Di sekolah-sekolah pesisir, muatan kemaritiman disusun untuk memperkenalkan dinamika hidup masyarakat pantai.
Di wilayah yang berdekatan dengan komunitas kasepuhan, nilai gotong royong, pembagian peran, dan pemeliharaan alam diintegrasikan ke dalam pembiasaan sekolah sehari-hari.
Pendekatan ini, menurut Deden, berjalan beriringan dengan penguatan kapasitas guru melalui kelompok kerja, komunitas belajar, serta praktik Lesson Study. Guru saling berbagi pengalaman, memperbaiki metode, dan menyesuaikan pendekatan dengan kondisi sekolah.
“Guru dilatih memanfaatkan lingkungan terdekat sebagai sumber belajar. Pendekatan ini tidak bergantung pada fasilitas. Lingkungan anak itu sendiri menjadi laboratorium pembelajaran,” kata Deden.
Pembelajaran di Kawasan Geopark
Perubahan ini tidak bersifat instan. Namun tanda-tandanya muncul secara bertahap. Siswa mulai menunjukkan kemampuan untuk menghubungkan pengalaman dengan konsep. Literasi tumbuh melalui proses merumuskan kembali apa yang mereka amati. Sikap menjaga lingkungan tidak lagi dipelajari sebagai slogan, tetapi dijalani dalam kegiatan sehari-hari.
“Kami tidak menunggu segala sarana menjadi sempurna. Pendidikan dapat berjalan dari apa yang sudah tersedia. Identitas pendidikan Sukabumi adalah anak belajar dari tanah tempat ia berpijak,” ujar Deden.
Langkah ini masih memerlukan dukungan berkelanjutan, terutama dari orang tua dan pengelola sekolah. Namun arah pembelajaran yang berpihak pada pengalaman nyata siswa mulai mendapat bentuk yang lebih jelas.
