Mentari pagi muncul perlahan di Dayeuhkolot, menebarkan sinarnya yang hangat di balik genangan banjir yang belum juga surut. Di tengah air yang melintang di Jalan Raya Moh Toha, tepat di depan Metro Garmen, derap langkah para pekerja terdengar samar, tenggelam bersama cipratan air yang mengikuti setiap gerakan mereka.
Wajah-wajah penuh asa itu menenteng sandal, tas besar, dan baju ganti. Ada rasa lelah yang terselip, namun semangat untuk tetap mencari nafkah jauh lebih kuat dari kegundahan yang mereka bawa sejak keluar rumah. Setiap langkah melawan arus kecil banjir menjadi irama pagi yang tak pernah mereka minta, tapi harus terus dihadapi.
Di antara mereka, Aris Maulana (26) tampak berjalan mantap, menembus air setinggi betis. “Mau ke Daliatex (pabrik tekstil), mau kerja,” ujar Aris saat ditemui infoJabar, Sabtu (6/12/2025).
Ia tidak sendiri. Banyak buruh lain mengikuti jalur yang sama, membawa tas besar berisi kebutuhan harian, termasuk pakaian ganti. “Kalau di pabrik sih nggak banjir, tapi kalau di luarnya yang di jalan ya banjir mungkin sebetis. Kalau di permukiman warga mah bisa sampai 1,5 meter,” katanya.
Baju ganti menjadi barang wajib setiap banjir datang, karena akses menuju pabrik hampir selalu tergenang. “Iya pasti-pasti bawa baju ganti. Sama ya, kolor segala diganti. Seragam juga kadang basah,” jelasnya.
Banjir bukan hanya menghambat mobilitas, tapi juga membuat para buruh kerap terlambat masuk kerja. Ketika akses tertutup banjir, kendaraan perusahaan pun harus memutar jauh, memakan waktu hingga lebih dari satu setengah jam.
“Iya keganggu bangetlah, gak ada akses jalan buat kerjaan. Ya, pasti telat. Apalagi yang pake jemputan kan, paling bentar teh sejam setengah, paling bentar, itu juga jalan tol, muter jauh banget,” ucapnya.
Meski begitu, Aris merasa sedikit beruntung karena rumahnya di Bojongasih cukup dekat sehingga ia bisa berjalan kaki. “Kalau saya untungnya deket sih rumah di Bojongasih jadi bisa jalan kaki. Kalau di luar, kemungkinan pasti macet parah,” tambahnya.
Bagi Aris, banjir sudah menjadi bagian dari hidup. Siklus besar lima tahunan seakan menjadi pola yang ia hapal sejak kecil.
“Banjir ini sudah lama sih, dari saya lahir juga udah banjir. Dari 2005 kan gede-gedenya, paling pas SD saya di rumah itu se-dada, itu juga udah di depan gitu. Di sini tuh ya udah sedada gitu. Sekarang mah agak mending lah gitu, tapi sekarang asa gede lagi gitu,” ungkapnya.
Di tengah langkah berat menyusuri genangan pagi itu, Aris menyimpan satu harapan sederhana agar banjir yang bertahun-tahun membayangi warga Dayeuhkolot bisa segera ditangani.
“Pengin segera diatasi aja we itu aja. Biar bisa beraktivitas dengan nyaman,” pungkasnya.
Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
