Aktivitas Sesar Lembang Meningkat, Badan Geologi Ingatkan soal Mitigasi

Posted on

Badan Geologi mencatat adanya peningkatan aktivitas seismik di Sesar Lembang dalam sepekan terakhir. Penyelidik Bumi Ahli Utama Badan Geologi Supartoyo mengingatkan masyarakat untuk tidak panik, melainkan meningkatkan kesiapsiagaan bencana.

“Dalam seminggu ini dari pemantauan BMKG ada empat kejadian gempa (akibat Sesar Lembang) meskipun kekuatannya kecil, ini dianggap sebagai peningkatan,” kata Supartoyo saat diwawancarai di kantornya, Kamis (21/8/2025).

Menurutnya, pergerakan Sesar Lembang masih relatif sama dengan sebelumnya, yakni dominan horizontal dengan tambahan komponen vertikal. Laju pergeseran mencapai 2-3 milimeter per tahun. Namun, Supartoyo menegaskan laju pergeseran ini tidak otomatis memicu gempa besar.

“Kadang setelah meningkat cukup tinggi laju pergeserannya, dilepasnya tidak tiba-tiba tapi pelan,” jelasnya.

Sesar Lembang membentang sepanjang 29 kilometer, dari Padalarang Kabupaten Bandung Barat hingga Cilengkrang Kabupaten Bandung. Supartoyo menyebut, bagian barat sesar saat ini menunjukkan aktivitas cukup tinggi.

Sejarah juga mencatat beberapa gempa merusak pernah terjadi, seperti pada 2003 yang guncangannya terasa di Bandung, serta di Kampung Muril, Cisarua tahun 2011 yang merusak ratusan rumah meski kekuatannya hanya M 3,3.

“Dengan data BMKG empat kejadian gempa di bawah M 3, ini memperlihatkan bahwa Sesar Lembang tergolong sesar aktif,” ujarnya.

Supartoyo menekankan bahwa masyarakat tidak perlu terlalu fokus pada hitungan laju pergeseran sesar. Menurutnya masyarakat harus memikirkan bagaimana cara memperkuat langkah mitigasi.

“Dari pada memikirkan laju pergeseran, lebih baik tingkatkan upaya mitigasi. Itu agar masyarakat tidak menunggu kapan gempa, jadi lebih baik meningkatkan upaya mitigasi,” katanya.

Mitigasi yang dimaksud meliputi dua hal. Pertama, secara struktural dengan membangun bangunan tahan gempa. Kedua, nonstruktural, seperti pelatihan, sosialisasi, simulasi, dan pemetaan jalur evakuasi.

“Dua hal ini harus bersinergi, dilakukan masyarakat dan didukung pemerintah,” tegasnya.

Selain itu, penataan ruang di wilayah yang dilintasi garis Sesar Lembang perlu diperhatikan. Supartoyo menekankan, pembangunan di garis sesar berpotensi berbahaya seperti kasus gempa Palu 2018.

“Sebenarnya pemukiman itu tidak boleh di garis sesar, karena kita ingat ada jenis bahaya gempa. Pertama guncangan, kedua sesar permukaan. Kalau ada pemukiman di garisnya itu risikonya besar,” ujarnya.

Menurut Supartoyo, skenario terburuk jika seluruh segmen Sesar Lembang sepanjang 29 km bergerak sekaligus, kekuatan gempa bisa mencapai M 6,8. Namun, ia menekankan hal ini belum pernah tercatat dalam sejarah.

“Jangan belum apa-apa Sesar Lembang menimbulkan gempa besar pasti akan heboh. Ini hanya skenario dalam bencana. Kenyataannya, gempa yang terjadi kekuatannya di bawah M 5,” jelasnya.

Supartoyo menambahkan, masyarakat perlu dibekali pengetahuan soal mitigasi. Ia mencontohkan peristiwa di Kampung Muril, Cisarua, tahun 2011, ketika warga panik karena guncangan gempa.

“Itu harus ditentukan jalur evakuasinya. Jangan di bawah tebing karena bisa memicu gerakan tanah,” ucapnya.

Dia menegaskan, satu-satunya cara mengurangi risiko gempa bumi adalah meningkatkan mitigasi, baik secara mandiri maupun dengan dukungan pemerintah dan regulasi khusus.

“Jadi obat untuk pengurangan risiko bencana gempa hanya tiga, pertama tingkatkan upaya mitigasi baik secara struktural dan non struktural. Kemudian penataan ruang harus diatur. Hanya upaya ini untuk mengurangi resiko dampak gempa bumi,” pungkasnya.

Mitigasi Jadi Kunci

Potensi Terburuk