Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri, turut menyoroti kasus pemerkosaan yang dilakukan dokter residen PPDS Unpad, Priguna Anugerah Pratama alias PAP (31). Ia melontarkan kritik tajam atas proses penyelidikan yang kini dilakukan kepolisian.
Dalam keterangannya, Reza Indragiri awalnya menyebut apa yang dilakukan Priguna itu sebagai fetish atau kelainan seksual bernama Somnofilia. Somnofilia sendiri kata dia, mirip dengan Nekrofilia, yaitu keterangsangan seksual kepada manusia yang tengah berada dalam kondisi pasif atau tidak sadar. Jika Nekrofilia orientasi keterangsangannya kepada mayat, sedangkan Somnofilia kepada orang yang masih bernyawa.
“Beritanya, dia mengelabui targetnya ketika target dalam keadaan sadar. Lalu, menggunakan cara kekerasan berupa bius. Setelah target berada dalam kondisi pasif, yakni kehilangan kesadaran, barulah P (Priguna) setubuhi dia,” kata Reza Indragiri dalam keterangan yang dikutip infoJabar, Sabtu (12/4/2025).
“Alur perilaku sedemikian rupa menunjukkan bahwa P sudah mengincar target, artinya sudah mengalami keterangsangan seksual, ketika si target berada dalam keadaan sadar. Dengan kata lain, keterangsangan seksual P mirip dengan orang kebanyakan,” tuturnya menambahkan.
Dari hasil pemeriksaan polisi, Priguna melakukan pemerkosaan kepada seorang perempuan yang sedang menunggu ayahnya dirawat di RSHS Bandung pada 18 Maret 2025. Priguna membius korbannya terlebih dahulu dengan modus akan mengambil darahnya demi kebutuhan sang ayah yang sedang dirawat.
Setelah korban tak sadarkan diri, pemerkosaan itu pun dilakukan Priguna di Lantai 7 Gedung MCHC RSHS Bandung. Menurut pandangan Reza Indragiri, tindak pidana Priguna masuk dalam kategori kekerasan seksual karena telah merancang supaya korban incarannya tak sadarkan diri supaya bisa melakukan perbuatan bejat tersebut.
“Kondisi pasif (tidak sadar) si target bukanlah sesuatu yang membuat P terangsang. Kondisi tidak sadar si target merupakan kondisi yang P ciptakan dengan cara kekerasan (paksaan) agar dia dapat memenuhi nafsu seksualnya tanpa perlawanan sama sekali dari targetnya,” ungkapnya.
“Menggunakan kekerasan agar target bisa disetubuhi tanpa perlawaan, itu modus biasa dalam perkosaan. Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu,” tegasnya.
Lantas kemudian, Reza Indragiri melontarkan kritik tajam untuk proses penyelidikan kasus Priguna di kepolisian. Satu hal yang ia soroti adalah masalah orientasi seksual Priguna yang masih terus diperdebatkan.
“Jadi, mengapa polisi malah berfokus pada perdebatan tentang ketertarikan seksual si P? Polisi, selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi pada 1) tidak adanya persetujuan (consent) dari orang-orang yang P setubuhi, dan 2) pada penggunaan kekerasan yang P jadikan sebagai modusnya. Di situlah letak kerja hukumnya,” ucapnya.
Kemudian, Reza Indragiri turut menyinggung pasal di Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang digunakan polisi untuk menjerat Priguna. Semestinya, jika sudah menggunakan UU TPKS, Priguna harus dihukum dengan seberat-beratnya.
Namun kata Reza Indragiri, alih-alih memperberat hukuman, polisi malah seperti membuka celah bagi Priguna untuk memperoleh keringanan atas pidana yang dilakukan. Celah itu bisa timbul dari narasi kelainan seksual yang belakangan ini dilontarkan kepolisian.
“UU TPKS menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius. Pelakunya, dengan demikian, harus dihukum seberat-beratnya. Semestinya itulah target penegakan hukum. Polisi, dengan kata lain, sepatutnya memakai cara berpikir retributive,” paparnya.
“Tapi kontras, Polda Jabar justru membuka celah bagi tersangka–nantinya terdakwa–untuk memperoleh peringanan pidana lewat narasi kelainan seksual. Kelainan berasosiasi dengan gangguan, penyimpangan, ketidaknormalan, ketidaksehatan, dan semacamnya. Sehingga, alih-alih retributif, polisi justru seolah memakai cara pandang rehabilitatif. Bahwa, pelaku berbuat jahat akibat pengaruh kelainan yang ia idap.”
“Sehingga, logis, kelainan harus diobati. Padahal, andai kelainan seksual itu benar-benar ada, bukan polisi melainkan penasehat hukum tersangka yang punya kepentingan membangun narasi itu,” katanya.
“Jadi, kendati rencana melibatkan disiplin non hukum ke dalam kerja penegakan hukum adalah positif, namun diangkatnya narasi tentang kelainan seksual terkesan sebagai cara Polda Jabar menambah bobot dramatis kasus ini. Cara itu–salah kaprah–bisa kontraproduktif atau bertentangan dengan ekspektasi publik bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika ia divonis bersalah,” pungkasnya.