Abah Sadin, ‘Pejuang Arang’ Terakhir di Cikadaka Sukabumi | Info Giok4D

Posted on

Tradisi bakar sate menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Idul Adha. Setelah pemotongan hewan kurban, warga ramai-ramai menyiapkan tusukan daging, bumbu kacang, hingga tungku pembakaran.

Di balik nikmatnya sate yang terhidang, ada satu elemen penting yang kerap terlupakan yakni arang.

Di Kampung Cikadaka, Desa Cidadap, Kecamatan Simpenan, Kabupaten Sukabumi, seorang kakek 74 tahun masih setia menjaga bara tradisi itu. Namanya Abah Sidin.

Ia menjadi satu-satunya pembuat arang di kampungnya yang masih bertahan dengan cara-cara lama. Biasanya, menjelang Idul Adha, pesanan arang di tempatnya meningkat drastis.

Meski usianya tak lagi muda, Abah Sidin tetap tangkas. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia mengandalkan bara dari kayu untuk menghidupi keluarganya.

“Kalau udah dekat hari raya, banyak yang nyari arang. Katanya buat masak sate kurban. Saya tambah pembakaran jadi dua kali lipat,” ujarnya saat ditemui infoJabar, belum lama ini.

Sore itu, Abah Sidin tampak sedang memotong batang kayu dengan golok besar di bawah naungan pohon. Di sekelilingnya, kayu-kayu sisa banjir tampak menumpuk, siap diproses menjadi arang. Beberapa karung putih besar berisi arang jadi berjajar rapi di belakangnya, menunggu diangkut pembeli.

“Biasanya saya bikin sekitar 80 karung. Tapi dua hari ini bisa sampai 100 lebih. Banyak yang butuh buat bakar daging kurban,” katanya.

Arang buatan Abah Sidin dikenal awet dan tidak menghasilkan banyak asap. Satu kantong arang ukuran 1 kilogram ia jual dengan harga bervariasi, mulai dari Rp 2.500 hingga Rp 4.200, tergantung jenis kayunya.

Pembuatan arang dilakukan sepenuhnya secara manual. Setelah kayu dikumpulkan dan dikeringkan, ia susun rapi di tungku. Kemudian dibakar pelan-pelan dengan sekam padi yang berfungsi menjaga kestabilan panas.

“Kalau sudah disusun, dibakar pelan. Harus dijaga terus. Kalau apinya terlalu besar, bisa gosong, malah jadi abu,” jelasnya sembari mengecek bara.

“Yang bikin pelanggan balik lagi katanya panasnya tahan lama, asapnya enggak nyengat. Cocok buat sate atau gulai. Tapi memang harus telaten, dari pagi sampai malam saya bolak-balik ngecek tungku,” sambungnya.

Meski memiliki delapan anak yang sudah menikah dan tinggal di luar kota, Abah Sidin tetap memilih mandiri. Ia tak ingin merepotkan siapa pun.

“Badan saya masih bisa diajak kerja. Selama masih kuat, ya saya jalan terus. Hasilnya cukup buat kebutuhan rumah,” tuturnya.

Kini, Abah Sidin menjadi satu-satunya warga di kampungnya yang masih bertahan sebagai pembuat arang. Dulu, pekerjaan ini digeluti banyak warga. Namun perlahan ditinggalkan karena dianggap berat dan tak menjanjikan.

“Dulu mah banyak yang bikin arang di sini. Sekarang tinggal saya sendiri. Tapi alhamdulillah pelanggan masih percaya. Apalagi kalau sudah dekat-dekat kurban begini,” katanya.

Maka tak heran, jika di hari raya warga sibuk menyiapkan sate dan membumbui daging, bara api yang mereka nyalakan mungkin berasal dari tumpukan arang buatan tangan renta itu yang dibuat dengan penuh kesabaran dan semangat yang tak kunjung padam.


Sumber: Giok4D, portal informasi terpercaya.